Hemmm, lama tidak mencoret jejak di blog ini. Percayalah profesi sebagai ibu rumah tangga tanpa bantuan keluarga dan asisten adalah pekerjaan terkompleks sedunia dan menyita waktu sehingga cita-cita menulis rutin setiap hari sedikit terabaikan.
Kejadian penting minggu ini adalah anak bungsuku masuk rumah sakit (rawat inap) selama 4 hari. Berawal dari demam ringan selama dua hari, di hari ketiga sampai kelima panasnya kok tambah susah turun dan mulai keluar batuk-batuk. Semua gejala masih kutangani sendiri di rumah, karena sudah sekitar dua tahun kami jarang ke dokter untuk menangani sakitnya anak-anak, toh biasanya sembuh dengan obat yang sewajarnya. Minggu kemarin cukup berat bagiku, sementara bagi keluarga lain mungkin sesuatu yang menyenangkan karena ada libur weekend yang panjang karena ada tahun baru imlek. Suamiku dan rekan sekantornya memanfaatkan libur tiga hari dengan rekreasi keluar kota, anak keduaku ikut kegiatan outbonding dengan teman-teman satu sekolah. Di luar dugaan, sakit anak bungsuku tambah mengkhawatirkan. Setiap malam aku begadang menjaga dia yang gelisah turunnya, kasihan melihat bibirnya yang kering terkelupas dan detak napasnya yang nampak pendek-pendek seperti banyak lendir yang susah dikeluarkan.
Seiring dengan habisnya obat penurun panas, Sabtu pagi itu kuputuskan kubawa anak bungsuku ke rumah sakit. Di rumah sakit (praktek kliniknya) terdekat, aku mendatangi dokter umum karena dokter anak hanya praktek setelah magrib. Oleh dokter umum yang menangani, anakku diharuskan rawat inap dengan diagnosa radang paru (pnemonia). Aku sudah menduga kalau dibawa ke rumah sakit pasti disuruh opname, sebenarnya membantu juga sih ... supaya panasnya tertangani dengan benar minimal lewat cairan infus. Yang jelas, yang kulakukan pertama adalah menelpon ayahnya agar segera pulang karena jelas aku bingung kalau menghadapi sendiri. Di hari pertama, segala treatment langsung dikenakan pada anakku, rontgen, ambil darah, obat-obatan, sampai harus diuap (nebulizer ?). Hebatnya si bungsu, tiap jarum suntik yang menusuk tubuhnya selalu dipandanginya tanpa menangis atau menjerit, saat jarum infus dan ambil darah berlangsung. Kecuali jeritan kecil saat disuntik di bawah kulit untuk tes alergi antibiotik yang memang sakit itu.
Hari pertama, si bungsu terkulai lemas di tempat tidur sambil memandangi infusnya dan sesekali minta lepaskan infusnya, tapi alhamdulillah panasnya sudah normal sejak pertama masuk rumah sakit. Seiring dengan nyamanya badan, nafsu makanya mulai timbul lagi. Pada dasarnya anak bungsuku ini memang tidak bermasalah dengan nafsu makannya, kecuali pada saat sakit. Hari kedua dan ketiga, perlakuan tetap sama, obat-obatan dan diuap. Sesak nafasnya berkurang, batuk kecil masih ada tapi suhu badan sudah normal. Hari ketiga (Senin, pas imlek) sebenanrya sudah ingin keluar rumah sakit, tapi apa daya dokter yang menangani keluar kota jadi harus menunggu beliau esok harinya.
Hari keempat, lewat tengah hari setelah bertanya kepada para perawat, akhirnya dokternya mengijinkan keluar dan dilanjutkan dengan rawat jalan. Yang mengejutkan, kata dokternya melihat hasil rontgen dan kesimpulan yang disampaikan radiolog, anakku terkenan TB aktip, jadi harus menjalani pengobatan jangka panjang yaitu selama enam bulan tanpa terputus setiap harinya. Dengan kondisi cape dan stress, aku jgua sedang batuk-batuk, sambil menangani dua anak lainnya, kami sebagai orangtua 'pasrah' menerima vonis dokter. Yang pasti, aku sudah ingin sekali pulang, dan suamiku juga harus segera balik ke kota tempat bekerjanya hari itu juga setelah mendapat ijin sehari. Akhirnya menjelang magrib, bisa juga pulang ke rumah dengan membawa oleh-oleh obat TB untuk seminggu karena harus kontrol lagi. Obatnya berupa puyer berwarna merah dan sirup (kayaknya antibiotik). Malam itu hanya kuberi obat batuk meneruskan yang diberi di rumah sakit, rencananya mulai besok paginya baru dimulai obat puyer tersebut.
Paginya, Rabu, setelah selesai mengurus kedua anakku berangkat sekolah, aku mengurus si bungsu lagi dengan meminumnya bungkus pertama puyernya. Ih, pekat banget ...satu sendok teh penuh belum dicairkan dengan air, dan warnya merah pink orange campur-campur, anakku sampai susah dan menolak-nolak meminumnya, pasti rasanya juga nano-nano, tapi apa boleh buat demi kesembuhan. Tidak lama kemudian, dia tertidur kembali. Setelah aku 'sendiri', tiba-tiba aku merasa 'waras' dan segera duduk di depan komputer untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang penyakit TB. Ah, sungguh saat di rumah sakit tak terlintas untuk mencari informasi seperti ini. Dan, demikianlah, sederet informasi bertubi-tubi kubaca, semakin banyak kuterima semakin kuragukan vonis TB anakku.
Beberapa tanda-tanda TB apda anak yang kubaca :
Pertama, harus ada kontak lama dengan orang dewasa yang positip TB. Satu-satunya orang dewasa yang kontak lama adalah diriku, meskipun saat ini sedang batuk, batukku baru beberapa hari ini. Eh, aku jadi tersangka, jadi pengen di tes juga apakah aku penularnya. Rasanya sih tidak ...
Kedua, bermasalah dengan nafsu makan dan berat badan. Anak bungsuku ini sangat tidak bermasalah dengan nafsu makan dan tidak picky eater. Meskipun kenaikan berat badannya relatip sedikit, tapi masaih dalam batas yang wajar mengingat dia anak yang aktip. Pada saat sakit, memang tidak bernafsu makan, jangankan anak-anak orang dewasa juga demikian, bukan ?
Ketiga, apakah tiap malam berkeringat meski cuacanya tidak panas. Jawabannya tidak. Justru beberapa hari saat badannya panas di rumah aku sangat ingin dia berkeringat untuk menurunkan suhu badannya.
Batuk berkepanjangan ? Juga tidak, karena batuknya baru sekitar tiga harian. Meski pada anak, gejala TB tidak mesti batuk.
Setiap hasil rontgen, tampak berkabut pada paru-parunya, belum tentu TB. Pada anak, tes TB lainnya adalah tes mantoux. Nah, ini dia. Aku seperti baru membuka lipatan lemari yang tertutup selama di rumah sakit. Padahal aku sudah pernah mendengar tentang tes mantoux ini dari informasi-informasi di internet, dan juga sekitar delapan tahun yang lalu anak sulungku juga pernah di tes mantoux. Waktu itu gejalanya batuknya lama tidak baik-baik, sudah dirontgen akhirnya dites mantoux. Yah, akhirnya ku bismillah, mengambil langkah mencari second opinion dan minta di tes mantoux dahulu. Karena tidak banyak mengenal dokter, akhirnya kupilih dokter spesialis paru, berkonsultasi apakah hanya dengan hasil rontgen seorang anak bisa dikatakan positip terkena TB. Kata beliau, dari hasil rontgen memang mengarah ke situ, tetapi kita jalani dulu tes mantouxnya. Hmmm, hmmmm, hmmmm..
Kamis pagi, si bungsu disuntuik tes mantoux. Tidak seperti si sulung yang dites mantoux dulu aku bersandar penuh dengan kata dokter, karena minim informasi. Pada si bungsu, setelah disuntik, dengan perasaan sedikit parno dan pasrah, sering kuamati sendiri di tempat suntikannya, timbul benjolan kah, berapa besar benjolannya, bagaimana setelah 24 atau 48 jam nanti ? Sampailah di hari Sabtu, dan terlewati sudah 48 jam. Tidak ada tanda-tanda benjolan (indurasi) di tempat suntikannya. Jadwal kembali ke dokter, dan sesuai yang kami sangka, anakku negatip TB. Alhamdulillah.
Bukan menolak pengobatan, tetapi karena obat ini jangka panjang dan konon akan berpengaruh pada fungsi hati, alangkah baiknya diagnosa ditegakkan benar-benar jangan sampai salah. Benar kalimat yang disampaikan mbak Agnes (seorang sahabat maya yang juga dokter), be smart patients be smart parents. Anak adalah amanah, tanggungjawab orangtua mengurus dan mendidiknya. Orangtua tridak bisa memilih seperti apa anak yang dilahirkan, tetapi kita dibekali akal pikiran untuk bisa memilih cara terbaik merawat dan membimbingnya.
No comments:
Post a Comment