Thursday, December 1, 2011

Untuk Siapa Kita Bekerja


Dulu kala (hehe...serasa jadul amat),  ada rekan sekantor pria yang baru menikah. Seharusnya dan biasanya pasangan yang baru menikah ‘kan masih kental mesra-mesranya, tapi rekan satu ini agak aneh.  Beberapa kali mengeluh karena istrinya terlalu sering menelepon ke kantor, dan beberapa  kali menceritakan ‘kekurangan’ pasangannya. Duluuuu..., kami  hanya tertawa menanggapi, tetapi saat ini dengan pemahaman agama yang relatip nambah sedikit, aku menyesalkan perbuatannya.  Seandainya aku berada di posisi sang istri, mungkin aku juga akan bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan suamiku di jam-jam kerjanya di kantor dan yang pasti aku juga akan sangat keberatan kalau aib pasangan (meskipun remeh dan nampak kecil) diumbar jadi bahan cerita di kantor.

Mungkin istrinya termasuk tipe pencemburu atau over perhatian kepada suami. Kalau aku sendiri, dengan jaman sms murah mudah saat ini, lebih banyak menggunakan sms  daripada menelepon langsung, dikarenakan memaklumi  jam-jam sibuk suami di kantor, kecuali dalam keadaan sangat mendesak. Bukankah sesuatu yang pantas disyukuri kita masih sering berkomunikasi dengan pasangan kita meskipun sama-sama sibuk, lebih baik sibuk dengan pasangan yang halal daripada curhat ke orang lain. Kesibukan kerja sebaiknya tidak mengabaikan orang-orang terkasih kita (keluarga) yang senantiasa sabar menunggu di rumah, yang juga perlu perhatian kita.

Kembali  ke  jaman dulu, ..hehe review kisahnya, aku pernah ‘ditegur’ oleh seorang pegawai senior. Saat itu aku belum menikah sehingga seluruh gajiku lebih banyak ditabung untuk keperluan sendiri. Rasanya senang saja melihat bila bukit tabungan itu meninggi.  Dia menegur seperti ini  “Duit juga tidak akan dibawa mati, Pik” ....Hmmm, betul  juga sih, siapa yang menyangkal hal itu karena yang kita bawa mati hanya amal. Maksud beliau saat itu, secara kalimat adalah baik yaitu tidak mengagung-agungkan harta di dunia. Tapi tahukah saudara, maksud lainnya saat itu adalah untuk meminjam uang kepadaku...hehe...

Untuk siapa sebenarnya kita bekerja, untuk siapa kita bersusahpayah mencari rezeki dalam bentuk uang/gaji.  Ketika bujangan, kita bebas menggunakannya untuk keperluan pribadi sendiri  dan ketika telah berkeluarga, bertambah banyaklah lubang-lubang pengeluaran rumah tangga dan anak-anak. Semakin banyak dan bertumbuh anak-anak, semakin  besar pula biaya yang dikeluarkan. Tidak pantas rasanya  merindukan gundukan gaji betah di rekening seperti  jaman bujangan dahulu. Baliklah ke diri sendiri, setelah menjalani  kehidupan berumahtangga bertahun-tahun, apa tujuan kita atau seorang kepala keluarga bekerja. Bukankah kita punya tanggungjawab atas keluarga yang kita bina, istri dan anak-anak. Tanggungjawab bukan sekedar lahiriah semata, tetapi sebuah keluarga, tepatnya istri dan anak-anak di rumah, juga membutuhkan kasih sayang dan perhatian seorang suami/bapak. Gaji seorang suami/bapak adalah bentuk tanggungjawab lahir menafkahi keluarga, sedangkan perhatian (meskipun sedikit di sela-sela kesibukan kerja) adalah tanggungjawab memenuhi bafkah batiniah keluarga. Sayangi  keluarga di rumah, karena mereka adalah alasan kita bekerja.

Sekedar penyegaran :

Seorang suami sedang membaca sebuah buku,  dengan wajah yang sedih
Istri        : mas, sedang apa?
Suami    : sedang baca buku, dik
Istri        : apa isi ceritanya, serius amat...
Suami    : iya, endingnya menyedihkan
Istri        : buku apa sih, mas?
Suami     : ini nih, buku tabungan .........................:))

No comments:

Post a Comment